Penambangan nikel merupakan bagian penting dari rantai pasokan baterai kendaraan listrik, namun penambangan ini berkaitan dengan kerusakan lingkungan yang serius dan pelanggaran hak asasi manusia.
Dampak sosial dan lingkungan, termasuk hilangnya mata pencaharian, penggundulan hutan, serta polusi air dan udara, semakin meluas pada masyarakat yang terkena dampak.
Perubahan kebijakan dan perusahaan yang bertanggung jawab sangat penting untuk solusi jangka panjang dan komprehensif.
12 Februari 2025, Jakarta
Organisasi masyarakat sipil Indonesia dan Korea telah menerbitkan laporan versi bahasa Indonesia “Ekstraksi Baterai”, yang menyoroti permasalahan lingkungan dan sosial pada hulu rantai pasok baterai kendaraan listrik (EV) dan aktivitas investasi perusahaan Korea di Indonesia. Laporan tersebut berdasarkan pada investigasi lapangan yang dilakukan pada Juli 2024 di lokasi penambangan nikel di Desa Lameruru, Kecamatan Langgikima, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Ketika pasar kendaraan listrik berkembang pesat sebagai solusi utama terhadap krisis iklim, permintaan baterai lithium-ion pun melonjak. Litium, kobalt, dan nikel—yang penting untuk produksi baterai ini—diklasifikasikan sebagai “mineral transisi” karena peran pentingnya dalam teknologi transisi energi. Namun, di wilayah di mana mineral-mineral ini diekstraksi, terjadi kerusakan lingkungan yang serius dan indikasi pelanggaran hak asasi manusia.
Permintaan nikel, yang berperan penting dalam meningkatkan kepadatan energi dan umur baterai lithium-ion, diperkirakan akan meningkat 40 kali lipat pada tahun 2040. Indonesia yang menyumbang sekitar 50% produksi nikel dunia, telah menjadi pemasok utama. Namun, proses penambangan dan pemurnian telah menghasilkan emisi karbon skala besar, deforestasi, perluasan pembangkit listrik tenaga batu bara, hilangnya keanekaragaman hayati, polusi air dan udara, serta perampasan tanah, hilangnya mata pencaharian tradisional, dan pelanggaran hak-hak perempuan dan anak-anak, serta hak atas air bagi komunitas lokal dan masyarakat adat.
Kisran Makati, Direktur PuSPAHAM, mengungkapkan keprihatinan yang mendalam, dengan menyatakan, “Masyarakat lokal kehilangan cara hidup tradisional mereka yang sudah lama ada karena penambangan nikel. Dahulu, mereka menanam makanan mereka sendiri dan mencari ikan untuk mendapatkan makanan, namun sekarang mereka bergantung pada pedagang dari luar untuk mendapatkan kebutuhan pokok. Hanya segelintir orang yang memperoleh penghasilan dari bekerja di pertambangan, dan ketika pertambangan ditutup, hutan mereka hancur dan lingkungannya tercemar. Represi secara fisik terhadap warga yang menolak tambang juga merupakan masalah serius.”
Kurniawan Sabar, Direktur INDIES, menekankan, “Meskipun kendaraan listrik dipromosikan sebagai kendaraan ramah lingkungan, di balik layar terdapat kerusakan lingkungan dan mengorbankan masyarakat. Apa yang kita perlukan untuk masa depan yang berkelanjutan bukanlah lebih banyak mobil, namun penggunaan sumber daya dan pelestarian lingkungan yang lebih adil. Di negara-negara seperti Indonesia, hal ini harus bersandar pada land reform sejati.”
Sementara itu, upaya kebijakan untuk mencegah dan mengatasi masalah lingkungan dan sosial di hulu rantai pasokan kendaraan listrik masih belum memadai. Negara-negara besar, termasuk Korea, masih terfokus pada melindungi dan mempromosikan kepentingan industri kendaraan listrik dalam negeri mereka, serta menyediakan akses subsidi dan pengerukan sumber daya mineral.
Shin-young Chung, Direktur Advocates for Public Interest Law (APIL), menyoroti pentingnya membuat aturan hukum mengenai uji tuntas hak asasi manusia dan lingkungan hidup dan menyatakan, “Penting untuk mengidentifikasi dan mengatasi masalah hak asasi manusia dan lingkungan dalam rantai pasokan perusahaan untuk menanggapi masalah yang terkait dengan produksi mineral transisi. Partisipasi para pemangku kepentingan harus dijamin, dan landasan hukum untuk komunikasi dan respon yang tepat harus ditetapkan melalui undang-undang uji tuntas hak asasi manusia dan lingkungan hidup.”
Investasi perusahaan Korea di industri nikel Indonesia terus meningkat, dengan cakupan investasi dari pertambangan hingga manufaktur baterai dan kendaraan listrik. Pada kuartal kedua tahun 2024 saja, perusahaan Korea melakukan investasi sekitar USD 1,3 miliar di Indonesia, mengalami peningkatan sebesar 1.200% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Perusahaan-perusahaan besar terus mengumumkan rencana investasi baru di fasilitas penambangan dan pemurnian (smelter).
Hyelyn Kim, Ketua Climate Ocean Research Institute (CORI), menekankan, “Perusahaan-perusahaan Korea harus menyadari tantangan-tantangan ini dan memastikan operasi mereka meminimalisir dampak lingkungan dan sosial terhadap masyarakat lokal. Pemerintah Korea harus memberikan lebih dari sekadar dukungan terhadap pengembangan sumber daya di luar negeri, namun juga melakukan pembangunan mekanisme yang kuat untuk mengidentifikasi dan menangani perusahaan yang terlibat dengan pelanggaran hak asasi manusia dan lingkungan hidup.”
Organisasi-organisasi tersebut menyimpulkan dengan menyatakan komitmen mereka untuk terus menyelidiki dampak destruktif terhadap lingkungan dan sosial penambangan nikel di Indonesia atas nama transisi energi, dan untuk mengadvokasi perubahan dalam praktik perusahaan dan pemerintah melalui kegiatan solidaritas internasional.
Advocate for Public Interest Law (APIL)
Climate Ocean Research Institute (CORI)
Institute for National and Democracy Studies (INDIES)
Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (PuSPAHAM) Sulawesi Tenggara
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tenggara